Tuesday, June 5, 2012

MERELY THINKING III



Sering kali kita lupa bahwa ketika sebuah jari kita arahkan kepada orang lain, ada empat jari yang sedang menunjuk ke arah diri kita, bukan?
Sudahlah, kali ini bisa tidak engkau menerima smuanya? kali ini cukuplah engkau tak perlu mengeluarkan apa pun yang ada di pikiranmu..
Hidup itu anugerah,
Mengapa kau terus bertanya tentang apa yang yang seharusnya terjadi dan tidak?
Syukuri saja yang telah diberikan oleh Nya kepadamu..

Sungguh tak tau malu jika kau terus bertanya dan mempersalahkan keadaan hanya karena keinginan mu tidak terkabul?
“Benarkah?” kataku..
Dia menjawab :
Tidak cukup aku bilang, jangan bertanya!
Tak kah kau pahami juga?
Engkau boleh punya mimpi setinggi langit..
Engkau pun boleh berusaha sampai kau tak sanggup lagi bernafas..
Engkau pun sangat teramat boleh meminta kepada Nya untuk mengabulkan keinginanmu itu..

Tapi, kembali lagi, jalan hidup sudah diatur, sekuat apapun usahamu, jika Dia tidak mengizinkannya, sudah..
Ya sudahlah.. terima itu..
Tengoklah ke bawah, jangan terus kau menongak ke atas,
kau sombong,
kau tidak tahu caranya berjalan,
Jika engkau tersandung batu,
kau tak pantas bertanya mengapa hal itu terjadi,
kau juga tak pantas marah-marah kepada batu itu,
Kau hanya boleh mengambilnya dan menaruhnya di tempat yang tepat, sehingga orang lain tidak tersandung sepertimu..

Ingat, di saat apapun itu, kau harus tetap baik kepada orang lain, tetap memperhatikan orang lain, dan membantu nya, agar tidak tersandung batu itu atau batu yang lainnya.
Tenang kawan, setiap kebaikan kecil yang kau lakukan akan berdampak kebaikan kepadamu..
Tak percayakah kau itu?

Silahkan buktikan, dan ceritakan kepadaku setelah kau mencobanya, aku akan mendengarmu dengan senyuman..
Tapi sebelum itu, kau harus renungkan ini:
Ketika kau tersandung batu itu, kau boleh jatuh, sampai berdarah kalau perlu, tapi kau tidak boleh menyalahkan batu itu dan bertanya “mengapa hal ini terjadi padaku? mengapa tidak ke yang lain” Atau bertanya “mengapa keadaanku tidak seberuntung orang lain?”
Cukup, janganlah kau bertanya tidak penting lagi, bangun dan bangkitlah kau dari kejatuhan itu, jalan lagi ke depan, lihat atas dan bawah secara seimbang, tentunya kau akan semangat melihat garis finish itu dan tak jatuh lagi untuk batu kecil – batu kecil lainnya.
Semangat kawan. Kau harus buktikan kepada dunia, kau hebat, kau bisa mengalahkan ribuan batu kecil itu, kau bisa membuat orang lain tak mengalami kepedihan yg kau pernah rasakan, dan paling penting, kau bisa mencapai garis finish impian mu.
Jangan bertanya tentang ketidak adilan, jangan mengeluh, syukuri apa yang ada, usaha yang terbaik, dan banyaklah berdoa.
Kukira nasihatku untukmu sudah cukup, kau hanya perlu melaksanakannya.“…”, aku hanya bisa diam.
gelisah dan bimbang menyatu di antara sakit kini tak kurasa lagi, racun yang kutelan menjadi madu peyambung hidup. tak ada lagi coretan dan goresan luka kekecewaan. kini ku berdiri,menegakkan kepala di tempat yang tertinggi di antara para bintang. berlari menghancurkan karang hitam yg meredupkan jiwa dan kebahagiaan ku , mematahkan pedang yang tertancap di hati, membakar benalu benci dengan sabarku, ku balut luka ini dengan canda dan senyum.takkan ada lagi sakit yang melemahkan jiwa ini.

Ini mungkin catatan busuk seorang pencerita yang lama sekali tidak dituliskan.
Mungkin lelah. Mungkin juga aku sudah ditinggalkan oleh kata-kata itu sendiri dari pencarian simbolik, metafora dan tepatnya personifakasi dalam setiap puisi-puisi ku.

Hanya ada sebuah perkataan kini di dalam kepala ku. Entah. Sakit? Ya, barangkali sakit.
Aku tidak ingin menuliskan tentang ‘sakit’ ini.
Aku hanya ingin menuliskan tentang sesuatu yang sangat bermakna sekarang.
Kalau saja ruang-ruang kecil di kedua sudut mata ku tidak menahan sesuatu dari tumpah.
Ah, mungkinkah ia gerimis? Tidakkah langit terlalu cerah meski untuk meminjamkan airmata pada tubuh perawan bumi kini? Bukankah juga waktu begitu terbatas untuk peduli sekiranya tanah merekah lewat kronologi gersang kering...?

Semalam, sebelum aku hanyut bersama mimpi, sempat aku membuka beberapa lampiran lama di dalam email ku.
Aku bukan pengarang yang baik pada ketika itu. Ada beberapa catatan terpenggal menjadi titik-titik saja. Ada berjuta perkataan, dan tiada satu pun dapat kupilih untuk mengungkap perasaan ku dengan tepat.
Sayang, ini tahun 2011. bisik ku perlahan kepada diri sendiri. Bukan tahun untuk terus mengintai cinta lewat naskah Shakespeare atau 
dongeng Laila dan Majnun.

Cinta? Kenapa pula tiba-tiba aku menuliskan tentang cinta?
Tidak, karena cinta terlalu klasik untuk diungkapkan kini.
Terlalu teguh untuk aku bariskan sekian degup dan rasa itu menjadi untaian kata-kata indah.
“Love is about a good choice. A person you choose to spend a rest of your life with.”
Ini sebaris perkataan yang terngiang-ngiang di kepala ku. Entah siapa yang pernah menyebutnya, aku tidak pasti.
"...pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia walau jalannya berliku-liku. Dan, pabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah. Walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu..." Kahlil Gibran
Maaf om Kahlil, catatan itu terlalu manis untuk ditelan kini.

Di saat kehilangan sebuah inspirasi, terhalang oleh sebuah tembok besar.
kaku jemari ini untuk bergerak bahkan menorehkan sebuah titik kecil pun tak sanggup, bagaikan raga yang tidak bersukma, jiwa kosong terbawa hilang nuansa aroma memabukkan.ingin ku terbebas dari kekang waktu memenjarakan dalam ketidak abadian
apa yang bisa ku perbuat???
kini otakku dibanyangi oleh kekosongan, tapi tunggu dulu bukan kah bayangan itu terbentuk karena adanya sebuah cahaya??
mungkin kekosongan ku bisa membantu melahirkan sebua tulisan,meski tak seindah goresan gilbran paling tidak mengambarkan perasaanku saat ini sampai di ujung penantianku mendapatkan sebuah inspirasi
oleh saya sendiri

“ ketika tak ada bisa yg menginspirasi jiwa saat ini mugkin besok aku dapat menemukan sesuatu yg telah hilang”

No comments:

Post a Comment